Pernah nggak sih, kamu ngerasa udah ngelakuin segala cara buat hidup tenang dan lebih baik, tapi ujung-ujungnya… malah hampa?
🔸 Healing? Udah. Tapi hati tetap kosong.
🔸 Resign dari kerjaan yang bikin stres? Udah. Tapi sekarang malah bingung mau ngapain.
🔸 Jauhin orang-orang toxic? Udah. Tapi sekarang jadi sepi, kayak nggak punya siapa-siapa.
Kalau kamu lagi ada di fase ini, tenang. Kamu nggak sendirian.
Banyak orang pernah atau sedang ngerasain hal yang sama. Tapi sayangnya, nggak banyak yang sadar bahwa fase kosong, bingung, dan serba nggak jelas ini bukanlah akhir, melainkan awal. Inilah yang disebut liminal space.
Apa Itu Liminal Space?
Secara harfiah, “liminal” berasal dari kata Latin limen, yang artinya “ambang batas.” Jadi, liminal space adalah ruang transisi. Bukan tempat tinggal, tapi juga belum sampai tujuan. Bukan siapa-siapa, tapi juga bukan diri yang lama.
Ibaratnya, kamu lagi berdiri di jembatan goyang, antara dua tebing. Diri lama sudah kamu tinggalkan, tapi diri yang baru belum terbentuk sepenuhnya. Kamu nggak bisa balik, tapi juga nggak tahu harus jalan ke mana.
Dan ya, rasanya absurd. Hampa. Nggak nyaman.
Tapi justru di sanalah pertumbuhan terjadi.
Contoh Liminal Space dalam Kehidupan Sehari-hari
Kamu mungkin nggak sadar, tapi kamu pasti pernah (atau sedang) mengalami liminal space, seperti:
- 🚫 Udah putus dari pasangan yang nggak sehat, tapi sekarang bingung harus ngapain tanpa dia.
- 🚫 Baru lulus kuliah, tapi belum dapet kerja. Nggak punya rutinitas, nggak punya arah.
- 🚫 Udah sadar kalau harus berubah—mau lebih sehat, lebih mindful, lebih dewasa—tapi jalannya belum kelihatan.
Semua contoh di atas punya satu kesamaan: kamu berada di antara. Antara yang dulu dan yang akan datang. Antara nyaman yang palsu dan kemungkinan baru yang belum kebayang.
Kenapa Liminal Space Terasa Menyiksa?
Karena manusia cenderung pengen kepastian. Otak kita lebih nyaman dengan hal-hal yang familiar, even kalau yang familiar itu nyakitin. Lebih baik stuck di kerjaan yang nggak disuka, daripada harus berhadapan dengan ketidakpastian setelah resign. Lebih nyaman bertahan di hubungan toxic, daripada harus sendirian dan “membangun dari nol”.
Itulah kenapa, saat kamu akhirnya punya keberanian buat keluar dari sesuatu yang nggak sehat, kamu malah ngerasa kosong. Karena sistem kamu belum siap menerima ketidakpastian.
Dan disinilah liminal space menunjukkan wajah aslinya: sepi, gelap, nggak jelas. Tapi diam-diam, ia mengubahmu.
Liminal Space Itu Bukan Lubang, Tapi Pintu
Banyak orang menganggap liminal space sebagai titik rendah. Titik yang harus cepat-cepat dilewati. Padahal, ini bukan lubang untuk jatuh, tapi pintu menuju versi dirimu yang lebih kuat, lebih jernih, dan lebih selaras.
Tapi seperti semua pintu transformasi, kamu harus berani berdiri lama di ambangnya. Harus sabar dalam ketidakjelasan. Harus tabah dalam proses menunggu.
Dan ya, ini nggak gampang.
Tapi kabar baiknya, semua orang hebat pernah ada di titik ini.
Gimana Cara Bertahan di Liminal Space?
Berikut beberapa cara yang bisa kamu coba, biar nggak tenggelam dalam kekosongan liminal space:
1. Sadari dan Terima
Langkah pertama adalah: sadar bahwa kamu lagi di fase liminal. Bukan berarti kamu gagal, bukan berarti kamu salah arah. Justru ini tanda bahwa kamu lagi dalam proses naik level.
Terima rasa nggak nyaman itu, jangan dilawan. Karena yang kamu lawan itu bukan musuh, tapi proses tumbuhmu sendiri.
2. Beri Makna pada Kekosongan
Liminal space itu kosong, iya. Tapi kamu bisa isi dengan hal-hal kecil yang bermakna. Tulis jurnal. Jalan pagi. Belajar hal baru. Beresin kamar. Hal-hal ini sepele, tapi bisa jadi jangkar di tengah lautan ketidakjelasan.
3. Berhenti Membandingkan
Hidupmu nggak harus mirip orang lain. Mereka mungkin lagi di fase “penuh”, sementara kamu masih “kosong”. Dan itu nggak apa-apa. Semua orang punya timeline-nya sendiri. Jangan paksa diri berlari hanya karena orang lain terlihat sampai duluan.
4. Cari Komunitas atau Dukungan
Kamu nggak harus sendirian. Banyak orang juga lagi berdiri di jembatan yang sama. Ceritakan perasaanmu ke orang terpercaya, gabung komunitas yang suportif, atau sekadar dengerin podcast yang relevan. Terkoneksi itu menenangkan.
5. Ingat: Ini Sementara
Liminal space itu bukan tempat tinggal. Ini cuma halte. Kamu akan melewati ini. Dan saat kamu keluar nanti, kamu akan menoleh ke belakang dan sadar: “Ternyata aku lebih kuat dari yang kukira.”
Penutup: Peluk Prosesny
Nggak semua proses pertumbuhan itu indah. Kadang justru datang dalam bentuk sepi, bingung, dan gelisah. Tapi bukan berarti itu buruk.
Justru ketika semuanya serba nggak pasti, kamu dipaksa untuk melihat lebih dalam ke dalam dirimu sendiri. Apa yang kamu mau? Siapa kamu sebenarnya, kalau semua “identitas luar” dilepas?
Dan jawaban dari semua itu nggak akan datang tiba-tiba. Tapi kalau kamu bertahan cukup lama, kamu akan sampai.
Jadi, kalau kamu lagi ada di liminal space, aku cuma mau bilang satu hal:
Selamat datang di gerbang transformasi. Pegang erat dirimu. Perjalanan ini akan mengubahmu.
Jika kamu merasa tulisan ini relate, jangan ragu untuk share ke temanmu yang mungkin juga sedang berdiri di ambang. Kadang, tahu bahwa kita nggak sendiri itu udah cukup bikin lega. 🧡