Orang terkuat yang saya kenal gak pamer di medsos. Mereka diam-diam menguasai emosi saat yang lain kalut. Mereka menerapkan stoicisme.
Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman lama di sebuah coffee shop. Dia terlihat berbeda. Lebih tenang dan lebih bijaksana. Saya penasaran, apa yang membuatnya berubah? Yang mengejutkan, dia gak pernah sekalipun mem-posting quotes motivasi atau journey self-improvement-nya di media sosial. Ternyata, dia diam-diam mempelajari dan menerapkan filosofi stoicisme.
Pernahkah kamu merasa overwhelmed melihat timeline media sosialmu dipenuhi quotes motivasi dan tips pengembangan diri? Kadang rasanya seperti ada tekanan untuk selalu terlihat produktif dan positif, kan? Padahal, orang-orang yang benar-benar kuat mental justru jarang memamerkan prosesnya.
Kenapa begitu? Mari kita kupas lebih dalam.
Kekuatan Sejati Ada di Kesunyian
Saya sudah mengamati banyak orang yang menerapkan stoicisme dalam hidup mereka. Ada yang menarik: mereka yang benar-benar menguasai filosofi ini justru jarang membicarakannya. Mereka lebih fokus pada praktik nyata daripada terlihat keren di media sosial.
Bayangkan dua orang yang sedang menghadapi masalah berat. Yang pertama langsung update status tentang betapa kuatnya dia menghadapi cobaan, lengkap dengan quotes Marcus Aurelius. Yang kedua? Dia diam-diam mempraktikkan prinsip stoic: menerima apa yang tidak bisa diubah, fokus pada apa yang bisa dikontrol.
Tebak siapa yang lebih likely bisa melewati masalah dengan baik?
Mengapa Stoicisme “Diam-diam” Lebih Powerful?
- Fokus pada esensi, bukan pengakuan
Orang yang benar-benar kuat tidak butuh validasi dari likes dan komentar. Mereka tau bahwa perubahan sejati terjadi dalam kesunyian, saat tidak ada yang melihat. Ini seperti proses metamorfosis kupu-kupu, terjadi dalam kepompong, jauh dari sorotan mata. - Tindakan lebih penting dari kata-kata
Stoicisme mengajarkan bahwa karakter sejati terlihat dari tindakan, bukan dari apa yang kita posting di Instagram. Saat kamu benar-benar menguasai emosimu, kamu tidak perlu memberitahu dunia. Ini mirip dengan orang yang benar-benar kaya, mereka jarang memamerkan kekayaannya. - Ketenangan yang autentik
Ada perbedaan besar antara terlihat tenang dan benar-benar tenang. Mereka yang praktik stoicisme dalam diam biasanya lebih autentik dalam menghadapi masalah. Ketenangan mereka bukan untuk dipamerkan, tapi untuk diri sendiri.
Pelajaran dari Para Praktisi Stoic Modern
Dalam pengamatan saya selama bertahun-tahun, ada beberapa karakteristik menarik dari para praktisi stoic modern yang sukses:
- Mereka jarang mengeluh
Bukan berarti mereka tidak punya masalah, tapi mereka memilih untuk fokus pada solusi daripada berkeluh kesah di media sosial. - Respons vs Reaksi
Mereka sangat paham perbedaan antara merespons dan bereaksi. Saat orang lain reaktif posting di medsos, mereka memilih merenung dan merespons dengan bijak. - Konsisten dalam keseharian
Yang membuat mereka berbeda adalah konsistensi. Mereka menerapkan prinsip stoic bahkan dalam hal-hal kecil sehari-hari.
Bagaimana Cara Memulai?
Kalau kamu tertarik menerapkan stoicisme dengan cara yang lebih autentik, ini beberapa langkah yang bisa kamu coba:
- Mulai dengan diri sendiri
Fokus dulu pada perbaikan diri tanpa merasa perlu share ke medsos. Rasakan prosesnya, nikmati perjalanannya. Buat jurnal pribadi untuk mencatat progress-mu. - Praktikkan refleksi harian
Luangkan waktu setiap malam untuk merefleksikan hari kamu. Apa yang bisa dikontrol? Apa yang tidak? Bagaimana responmu terhadap kejadian hari ini? Coba praktikkan journaling ala Marcus Aurelius. - Embrace the silence
Tidak semua hal perlu dibagikan ke publik. Kadang, perjalanan personal kita lebih bermakna ketika dijaga tetap personal. Belajarlah nyaman dengan proses yang tak terlihat. - Bangun rutinitas pagi
Para praktisi stoic yang saya kenal biasanya punya morning routine yang solid. Ini membantu mereka memulai hari dengan mindset yang tepat.
Tantangan dalam Menerapkan Stoicisme Modern
Tentu saja, menerapkan stoicisme di era digital bukan tanpa tantangan. Beberapa hal yang sering dihadapi:
- FOMO (Fear of Missing Out)
Kadang ada perasaan tertinggal ketika melihat orang lain “terlihat” sukses di media sosial. - Tekanan Sosial
Banyak yang bertanya “Kok kamu jarang posting?” atau “Kenapa nggak share journey kamu?” - Godaan validation
Kadang ada godaan untuk membagikan progress kita untuk mendapat pengakuan.
Satu hal yang sering kita lupakan adalah kekuatan sejati tidak butuh pengakuan dari orang lain. Orang-orang yang benar-benar kuat justru lebih suka berproses dalam diam. Mereka tau bahwa perubahan sejati terjadi di dalam, bukan di feed Instagram.
Mungkin kamu pernah dengar quote “Be strong, but not too strong to show it to people.” Nah, ini yang dipraktikkan para praktisi stoicisme sejati.
Setelah mengamati banyak praktisi stoic, saya melihat bahwa pendekatan “diam-diam” ini membawa dampak jangka panjang yang lebih sustainable:
- Mental yang lebih stabil
Tidak bergantung pada validasi eksternal membuat mental mereka lebih kuat. - Hubungan yang lebih dalam
Mereka cenderung membangun koneksi yang lebih bermakna karena fokus pada interaksi nyata. - Pencapaian yang lebih solid
Tanpa tekanan untuk selalu terlihat baik, mereka bisa fokus pada progress yang sesungguhnya.
Di era di mana semua orang berlomba-lomba menunjukkan “journey” mereka di media sosial, mungkin justru kita perlu belajar dari mereka yang memilih jalan sunyi. Mereka yang diam-diam menguasai emosi mereka, yang tetap tenang saat yang lain panik, yang tidak merasa perlu membuktikan apapun ke siapapun.
Karena pada akhirnya, stoicisme sejati bukan tentang terlihat kuat, tapi tentang benar-benar menjadi kuat bahkan saat tidak ada yang melihat.
Bagaimana menurutmu? Apakah kamu juga merasa bahwa kekuatan sejati tidak perlu dipamerkan? Share pengalamanmu di kolom komentar ya!
Dan ingat, mulai sekarang, mungkin kita bisa lebih fokus pada “being” daripada “showing“. Karena perubahan sejati dimulai dari dalam, bukan dari jumlah likes yang kita dapat. 🙂