Setiap orangtua selalu berusaha memberi yang terbaik bagi anaknya. Apapun itu. Mulai dari pola asuh yang baik, kasih sayang yang melimpah, perhatian yang besar, memenuhi kebutuhan anak dengan fasilitas yang terbaik, dan lain-lain. Namun sebagian orangtua menerjemahkan makna ‘memberi kasih sayang terbaik’ dengan cara yang berbeda, yang malah mengakibatkan anaknya terluka secara fisik dan mental karena menerima bentuk kasih sayang dengan cara yang salah. Orangtua yang seperti ini dikenal dengan sebutan toxic parents.
Penyebab Toxic Parents
Seringkali pola asuh toxic parents dipicu oleh pola pengasuhan serupa yang dialami oleh orangtua tersebut. Karena manusia cenderung mengulangi pola perasaan yang sudah dikenalnya, -tidak peduli perasaan itu menyakitkan atau menyenangkan-, maka secara tidak sadar orangtua tersebut melakukan hal yang sama pada anaknya.
Jika orangtua kita memiliki trauma yang diakibatkan oleh pengasuhan yang tidak benar, kurangnya kedekatan secara emosi dengan orang tuanya, disfungsional dalam keluarga, tidak merasakan figur seorang ayah atau ibu, maka toxic parents bisa terjadi.
Dari pengamatan langsung saya, toxic parents cenderung menolak untuk mengubah pola asuh/ pola didik yang telah mereka lakukan dengan alasan bahwa pola yang mereka terapkan sudah ideal.
Contohnya begini, saat orangtua mengalami masalah dengan pasangannya, orangtuanya, orang lain, mereka tidak segan-segan untuk membicarakan masalah tersebut di depan sang anak dengan dalih agar sang anak memahami dan mengerti apa yang dirasakan orangtuanya. Padahal sang anak belum cukup matang untuk mengetahui permasalahan orangtuanya tersebut.
Toxic Parents Seorang Diktator
Toxic parents juga cenderung diktator dan tidak memberi anak kesempatan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya anak inginkan.
Misalnya, saat anak menginginkan untuk fokus berkarir sesuai hobinya (contoh: bermain bola), orangtua melarangnya dengan keras dan mengatakan hal-hal yang mematikan mimpi anaknya dengan alasan demi kebaikan anak tersebut. Dan memaksa anak untuk mengikuti apa yang diinginkan orangtuanya. Tidak ada ruang untuk negosiasi bahkan diskusi.
Toxic parents berpotensi besar mewariskan emosi negatif yang mereka rasakan pada anaknya. Contohnya, saat mereka memiliki rasa dendam, marah, kecewa terhadap seseorang, mereka mengungkapkan pada anaknya dan mempengaruhi anaknya untuk memiliki perasaan yang sama terhadap orang tersebut.
Toxic parents juga selalu ingin dihormati dan dihargai oleh anak namun mereka tidak mampu untuk menghargai anaknya.
Mereka juga sering merendahkan sang anak. Menganggap anak tidak mampu meraih pencapaian yang baik. “Ah kamu kan pemalas, mana mungkin bisa masuk perguruan tinggi yang berkualitas”.
Atau kebalikannya, terlalu berekspektasi tinggi yang malah membuat anak merasa terbebani. Mereka sering berteriak dan memarahi anak saat melakukan kesalahan dan bukannya menasehati dengan baik.
Orangtua dengan toxic parents juga cenderung dramatis, lebay dan selalu melebih-lebihkan suatu keadaan. Misalnya, saat sang anak melakukan kesalahan karena suatu hal (contoh: terlalu lama bermain), mereka memarahi anak dengan membawa-bawa masalah lain diomelannya (contoh: karena si anak pemalas, boros, dll).
Bagi toxic parents, mereka merasa bahwa niat mereka memarahi anaknya itu baik, yaitu untuk mengingatkan dan menasehati anaknya.
Namun bagaimana jika keadaannya berbalik? Akankah toxic parents dapat menerima jika mendapat nasehat dengan cara seperti itu? Sepertinya tidak yaa.
Akibat dari perilaku-perilaku toxic ini, bagi anak penurut, mereka cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah. Sedangkan bagi anak pembangkang, mereka jadi pribadi yang egois, mudah marah dan pendendam. Namun yang pasti psikis mereka terganggu.
Jika luka tersebut tidak diobati, maka tidak menutup kemungkinan hal seperti itu akan dia lakukan pada anaknya kelak. Pola tersebut akan berputar terus seperti lingkaran setan. Untuk memutus lingkaran setan tersebut, hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara menyembuhkan luka trauma masa kecil.
Setelah membaca tulisan di atas, kira-kira Anda termasuk toxic parents atau bukan ya? Atau apakah Anda termasuk korban dari toxic parents? Let me know your answer in the comments below.